Oleh: Redaksi
Dailykepri.com | Riau – Dari tepian Sungai Kuantan yang tenang di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, sebuah tradisi tua kembali menggelegar dan menggema hingga ke penjuru dunia. Pacu Jalur, lomba dayung tradisional yang telah hidup sejak abad ke-17, kini bukan hanya menjadi kebanggaan lokal, tetapi juga simbol budaya Indonesia yang mendunia. Fenomena viral “Aura Farming” yang menampilkan anak-anak penari di ujung perahu telah mengubah wajah Pacu Jalur menjadi ikon budaya digital yang menyentuh hati jutaan orang di seluruh dunia.
Pacu Jalur bukan sekadar lomba perahu panjang. Ia adalah warisan budaya yang sarat nilai spiritual, sosial, dan filosofi hidup masyarakat Melayu Riau. Jalur, perahu sepanjang 25 hingga 40 meter yang dibuat dari batang kayu utuh, diisi oleh 40 hingga 60 pendayung, lengkap dengan juru mudi, penabuh irama, dan penari cilik yang dikenal sebagai “Togak Luan” atau “Anak Coki”.
Tahun 2025, Pacu Jalur mencuri perhatian dunia setelah video seorang anak penari viral di TikTok dan Instagram. Gerakannya yang lincah dan penuh percaya diri di ujung perahu memicu tren global yang dikenal sebagai “Aura Farming”. Klub sepak bola internasional seperti PSG dan AC Milan bahkan ikut mengunggah ulang video tersebut. Dalam sekejap, Pacu Jalur bukan hanya dikenal di Riau, tapi juga di Paris, Bangkok, hingga Buenos Aires.
Sejak 2014, Pacu Jalur telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kini, Pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi tengah mempersiapkan pengajuan Pacu Jalur ke UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia. Langkah ini penting, bukan hanya untuk melindungi dari klaim budaya negara lain, tetapi juga untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai negara dengan kekayaan budaya yang diakui global. Kepala Dinas Kebudayaan Kuansing, Azhar, menegaskan bahwa Pacu Jalur adalah budaya asli Indonesia yang tidak bisa ditiru oleh negara lain karena kekhasan ritual, nilai adat, dan filosofi yang menyertainya.
Viralnya Pacu Jalur adalah peluang emas yang tidak boleh disia-siakan. Pemerintah pusat dan daerah harus melihat ini sebagai momentum strategis untuk mempromosikan Indonesia melalui diplomasi budaya. Seperti yang disampaikan oleh Dosen Pariwisata Universitas Airlangga, Novianto Edi Suharno, media sosial kini menjadi alat promosi budaya yang sangat efektif dan murah. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) telah memasukkan Pacu Jalur dalam kalender Karisma Event Nusantara (KEN), namun langkah ini harus diperluas. Promosi digital, kolaborasi dengan influencer global, hingga pengemasan dokumenter budaya dalam berbagai bahasa bisa menjadi strategi jangka panjang untuk menjadikan Pacu Jalur sebagai ikon budaya Indonesia di mata dunia.
Pacu Jalur telah membuktikan bahwa budaya lokal bisa menembus batas global. Namun, viralitas saja tidak cukup. Diperlukan kebijakan yang terintegrasi antara pelestarian budaya, promosi pariwisata, dan penguatan ekonomi kreatif berbasis tradisi. Pemerintah harus mendorong percepatan pengakuan UNESCO untuk Pacu Jalur sebagai Warisan Budaya Dunia. Selain itu, pengembangan infrastruktur wisata di Kuantan Singingi harus menjadi prioritas agar daerah ini siap menyambut wisatawan mancanegara. Pemerintah juga perlu memproduksi konten digital berkualitas tinggi dalam berbagai bahasa untuk menyebarluaskan filosofi Pacu Jalur, serta melibatkan generasi muda dalam pelestarian budaya melalui pendidikan dan pelatihan kreatif.
Pacu Jalur bukan hanya tentang siapa yang tercepat di sungai. Ia adalah tentang siapa yang paling kuat menjaga akar budayanya di tengah arus globalisasi. Ketika dunia mulai menoleh ke tepian Sungai Kuantan, Indonesia harus siap menyambutnya dengan bangga. Karena di setiap kayuhan jalur, ada cerita tentang bangsa yang besar, bangsa yang tahu cara menghormati masa lalu, merayakan masa kini, dan menjemput masa depan. (*)
Komentar