Dailykepri.com | Batam – Di era disrupsi informasi, krisis bukan lagi sesuatu yang datang perlahan dan terduga. Dalam hitungan menit, satu pernyataan pejabat, laporan media, atau unggahan warganet bisa memicu badai persepsi yang mengancam reputasi sebuah institusi.
Dalam konteks badan publik, mulai dari kementerian hingga pemerintah daerah, situasi ini memperlihatkan bahwa kecepatan dan ketepatan dalam berkomunikasi bukan lagi keunggulan, melainkan kebutuhan mendesak. Ketika krisis muncul, publik tak hanya menilai isi tanggapan, tetapi juga kehadiran, empati, dan sikap tanggung jawab dari institusi yang bersangkutan.
Sayangnya, masih banyak lembaga yang memandang komunikasi sebagai urusan pelengkap, bukan bagian dari strategi inti. Akibatnya, ketika krisis terjadi, wajah institusi tetap tercoreng karena lambatnya respons atau komunikasi yang tidak tepat. Meskipun secara substansi mereka berada di posisi yang benar.
Di sinilah komunikasi krisis menjadi penting, bukan sekedar untuk mengendalikan opini publik, tetapi untuk mempertahankan legitimasi, membangun kembali kepercayaan, dan menunjukkan kualitas kepemimpinan di tengah tekanan.
Citra institusi kini menjadi aset strategis yang menentukan kepercayaan masyarakat, bukan sekadar urusan estetika atau pencitraan belaka. Oleh karena itu, pengelolaan citra dan penanganan krisis seharusnya menjadi bagian dari strategi utama lembaga publik, dan dijalankan secara antisipatif, bukan setelah masalah membesar.
Citra publik tidak dibentuk hanya dari dokumen resmi atau konferensi pers. Ia adalah refleksi dari bagaimana masyarakat memandang suatu institusi, mulai dari pengalaman mereka dalam menerima layanan, pemberitaan media, interaksi di media sosial, hingga reputasi pejabatnya. Khususnya bagi institusi pemerintah, citra mencerminkan seberapa jauh mereka hadir dan relevan dalam menjawab kebutuhan rakyat.
Elvinaro dalam bukunya Dasar-Dasar Public Relations (2002) menyebutkan Citra merupakan kesan yang diperoleh seseorang berdasarkan pengetahuan dan pengertiannya tentang fakta-fakta atau kenyataan. Citra terbentuk berdasarkan pengetahuan dan informasi-informasi yang diterima oleh seseorang, komunikasi tidak secara langsung menimbulkan perilaku tertentu, tetapi cenderung mempengaruhi cara kita mengorganisasikan citra kita tentang lingkungan.
Namun sayangnya, masih banyak badan publik yang memperlakukan citra sebagai aktivitas kosmetik ; kampanye sesaat, promosi digital yang tak menyentuh substansi, atau program seremonial yang kurang menyentuh akar persoalan. Padahal, di zaman keterbukaan informasi, persepsi publik tidak bisa dibentuk lewat tampilan semata. Ia harus dibangun lewat komunikasi yang konsisten dan tindakan nyata.
Krisis tidak selalu datang dalam bentuk bencana besar. Ia bisa berupa pemberitaan negatif, kesalahan kebijakan, atau ketidaksiapan merespons kejadian tak terduga. Menurut Coombs dan Holladay (2010), krisis merupakan situasi luar biasa yang berpotensi merusak reputasi organisasi jika tidak dikelola dengan tepat. Bagi badan publik, krisis tidak hanya berdampak pada citra, tetapi juga legitimasi di mata publik.
Itulah sebabnya krisis komunikasi bisa muncul dari berbagai sumber, misalnya pelaksanaan program yang menuai kritik, bencana yang penanganannya dinilai lamban, pernyataan pejabat yang kontroversial, atau bahkan miskomunikasi internal. Ketika krisis terjadi, masyarakat tidak hanya melihat isi penjelasan yang diberikan, tetapi juga menilai waktu respon, kejujuran, serta sikap pejabat yang tampil di depan publik.
Komunikasi Krisis Sebagai Pilar Reputasi
Dalam menghadapi dinamika informasi publik yang semakin cepat dan kompleks, instansi pemerintah dituntut untuk mampu menyampaikan informasi secara terbuka, akurat, dan tepat waktu. Hal ini sejalan dengan amanat Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2010 sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang menegaskan bahwa setiap badan publik berkewajiban menyediakan dan menyampaikan informasi kepada masyarakat, termasuk dalam situasi darurat atau krisis. Ketiadaan komunikasi yang efektif dalam masa krisis dapat memunculkan kepanikan, disinformasi, serta menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Oleh karena itu, pengelolaan informasi yang cepat dan terkoordinasi melalui tim komunikasi krisis menjadi instrumen penting dalam mewujudkan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik.
Lebih lanjut, pentingnya pengelolaan komunikasi krisis juga diperkuat melalui Peraturan Menteri PAN dan RB No. 30 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Tata Kelola Kehumasan di Instansi Pemerintah. Regulasi ini menggarisbawahi perlunya struktur dan sistem kehumasan yang mampu merespons berbagai situasi komunikasi, termasuk kondisi krisis. Dalam konteks ini, pembentukan tim manajemen komunikasi krisis merupakan bagian strategis dari tata kelola kehumasan yang baik, guna memastikan bahwa pesan-pesan pemerintah tersampaikan dengan benar, terhindar dari simpang siur informasi, dan tetap menjaga citra serta kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah.
Ketidaksiapan dalam merespons suatu isu dapat memperkeruh keadaan. Ketika respons lambat atau terkesan menyalahkan pihak lain, kepercayaan publik pun goyah. Namun sebaliknya, jika lembaga mampu tampil cepat, terbuka, dan empatik, krisis bisa menjadi peluang untuk menunjukkan kepemimpinan dan tanggung jawab.
Agar krisis tidak menjadi bumerang, badan publik perlu membudayakan pendekatan yang proaktif. Ini bukan hanya tentang kesiapsiagaan, melainkan juga antisipasi dan pencegahan sebelum masalah muncul ke permukaan.
Beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan antara lain pertama, evaluasi komunikasi secara rutin. Melakukan peninjauan berkala terhadap efektivitas kanal komunikasi, keterpahaman pesan di masyarakat, serta mendeteksi potensi celah miskomunikasi.
Kedua, menyusun Rencana Komunikasi Krisis (Crisis Communication Plan). Setiap instansi perlu memiliki panduan lengkap dalam menghadapi krisis: siapa yang bertanggung jawab berbicara, jalur komunikasi resmi, serta skenario tanggapan berdasarkan jenis krisis.
Ketiga, pelatihan tim kehumasan dan protokol. Staf yang menangani komunikasi publik harus dilatih tidak hanya dalam aspek teknis, tapi juga dalam hal krisis, manajemen media, dan pengelolaan opini publik.
Keempat, mengedepankan transparansi dan konsistensi. Dalam kondisi apapun, informasi yang disampaikan harus selaras dengan data, disampaikan terbuka, dan tidak berubah-ubah. Keteguhan dalam menyampaikan fakta jauh lebih membangun kepercayaan daripada narasi defensif.
Langkah kelima atau terakhir, berjejaring dengan media dan tokoh publik. Di era media sosial dan demokratisasi informasi, peran jurnalis, content creator, dan tokoh digital sangat besar dalam membentuk opini. Kolaborasi yang sehat, edukatif, dan terbuka akan membantu menjaga narasi publik tetap objektif.
Komunikasi bukan lagi tugas pelengkap, melainkan bagian dari kepemimpinan strategis. Pemimpin lembaga publik harus hadir sebagai wajah kebijakan, terutama saat terjadi krisis. Mereka harus mampu menyampaikan informasi dengan jujur, tulus, dan penuh tanggung jawab. Ukuran keberhasilan mereka bukan hanya dari capaian program, tapi juga dari bagaimana mereka membangun dan menjaga kepercayaan publik lewat komunikasi yang berkualitas.
Oleh karena itu, badan publik perlu menata ulang cara mereka berkomunikasi. Tak cukup hanya tampil ketika krisis datang, kesiapan harus dimulai jauh sebelum itu. Ketika kepercayaan sudah dibangun, publik akan lebih memberi ruang bagi institusi untuk menjelaskan diri di saat sulit.
Krisis bisa datang tak terduga dan tidak bisa sepenuhnya dihindari. Namun, dengan kesiapan dan strategi komunikasi yang matang, krisis tidak harus menjadi akhir dari reputasi. Justru, ia bisa menjadi momen untuk menunjukkan integritas, transparansi, dan komitmen pelayanan kepada masyarakat.
Penanganan Komunikasi Krisis di BKKBN Kepri
Beruntungnya, Perwakilan BKKBN Provinsi Kepulauan Riau telah melakukan penanganan komunikasi krisis. Yaitu dengan membuat Standard Operational Prosedure (SOP) yang dijabarkan dalam Panduan Penanganan Komunikasi Krisis di Lingkungan BKKBN Kepri. Dimulai dari analisis situasi, pengumpulan bahan dan data kronologis, analisa sentiment public terhadap pemberitaan yang ada, pembuatan agenda setting media dan menyiapkan rilis yang relevan. BKKBN Kepri juga telah membentuk tim komunikasi krisis dan melibatkan pakar yang bepengalaman sebagai fasilitator. Pembekalan terhadap personil tim komunikasi krisis dilakukan pada 2 September 2025. Kegiatan ini dilaksanakan secara daring dengan materi “Strategi Komunikasi Krisis di era Digital”, yang disampaikan oleh Dr.Rulli Nasrullah,M.Si, konsultan Digital Brand-Myth. Ia juga merupakan penulis buku-buku media sosial dan konsultan kehumasan lembaga pemerintah, swasta ataupun individu
Sebagai penutup, kesadaran dan pemahaman akan pentingnya komunikasi bukan lagi sekadar kebutuhan, melainkan keharusan yang telah dibentuk sedini mungkin di BKKBN Kepri. Dengan bekal ini, tim komunikasi krisis diharapkan siap menghadapi berbagai tantangan di era digital sebagaimana dengan semangat yang selaras dan visi yang teguh, tim komunikasi krisis BKKBN Kepri berdiri sebagai garda terdepan menjaga citra instansi di mata publik.
Komentar