Di sisi lain, mungkin keberadaan mereka bisa dianggap sebagai penyebab rusaknya pemandangan mata atau menimbulkan bau tak sedap apalagi jika sang kuda kencing atau buang kotoran sembarangan.
Maka ke depan, kita akan merencanakan, selain pengaturan kantong kotoran seperti yang kita lihat selama ini, kita juga akan mempersiapkan mobil penyiram yang standby di beberapa titik sehingga jika ada kuda yang kencing maka mereka akan bergerak melakukan penyiraman sehingga air kencing kuda tersebut tidak akan memberikan efek bau pada pengguna jalan lain.
Dan juga satu hal yang penting yakni menentukan tempat kumpul atau semacam terminal khusus buat kuda bendi ini. Diharapkan pada tempat tersebut mereka bisa merasa lebih nyaman dalam menunggu penumpang dan sekaligus menjadi tempat kuda-kuda istirahat dan makan. Dan tentunya masalah kebersihan tetap akan dipantau dan ditangani oleh pemerintah dengan menempatkan beberapa tenaga dan fasilitas kebersihan di sekitar tempat tersebut.
Berhubungan dengan pelayanan wisata, nanti kita akan arahkan setiap bendi yang beroperasi agar bisa tampil dengan penampilan semenarik mungkin, mulai dari asesoris kuda, bendinya bahkan kalau perlu sampai pada pakaian kusirnya.
Kita perlu menonjolkan nilai budaya di sini. Bisa jadi nanti kita akan memberikan pelatihan dasar tentang pelayanan wisata, baik secara pengetahuan bahasa maupun tentang lokasi wisata dengan narasinya khusus untuk wilayah seputaran Kota Bukittinggi.
Diharapkan mereka sudah bisa melayani tamu yang datang baik lokal maupun mancanegara sehingga para kusir ini bisa langsung menjadi guide untuk tamu atau penumpangnya”.
”Kita berharap, ikon kota wisata yang pernah kita raih, bisa kita kembalikan lagi sehingga kehidupan pariwisata Kota Bukittinggi bisa kembali berkibar.
Hal lain yang perlu diperhatikan kembali adalah masalah perpakiran dan kuliner.
Baca Juga:
Anies Rasyid Baswedan Siap Jadikan Kota Palembang Selevel Jakarta
Sering kita membaca pemberitaan tentang biaya parkir yang tinggi, harga makan yang melambung dan tidak merata. Apalagi di masa-masa liburan.
Nanti kita akan membuat kebijakan yang jelas sehingga diharapkan tidak ada lagi wisatawan yang mengeluhkan harga parkir atau kuliner yang melonjak. Kita harus tata ini karena dampaknya akan berlaku jangka panjang. Bak kata pepatah, gara gara nila setitik rusak susu sebelanga.
Jangan sampai nama kota kita jadi cacat hanya karena segelintir oknum”.
Selain masalah budaya lokal, Oly juga memaparkan tentang pandangannya mengenai masalah lingkungan.
”Selama ini masalah penanganan sampah di Bukittinggi ibarat meniup abu dalam gelas, abunya hilang tapi mata kita kelilipan. Maksudnya, biaya penanganan sampah Bukittinggi sangat tinggi dikarenakan tempat pembuangannya yang sangat jauh. Dan kita masih berterima kasih karena ada tetangga yang bersedia memfasilitasi dan menyediakan tempat pembuangan sampah akhir warga Bukittinggi.
Komentar